Sepatu gengsi
By: Nadia Aisyah
Salamah
Telihat
sosok pria yang termenung di dibawah
pohon, matanya tak lepas memandangi sepatu kumel yang di pakainya. Aku pun dari
sisi ini memperhatikannya, seseorang itu mengingatkanku akan kejadian 1 tahun
yang lalu.
Jam
telah menunjukan jam setengah 10, itu artinya aku harus masuk kelas pengantar
ilmu komunikasi. Aku adalah mahasiswa baru ilmu komunikasi UII, kina namaku,
disini aku telah menemukan suatu keluarga kecil dari teman-teman kosku yang
kebetulan satu prodi denganku. Siska, dia sahabatku yang paling perduli soal
kecantikan dan dia cewek girly. Nadin, dia sahabatku yang paling susah bangun
pagi. Chika, dia sahabatku yang paling sering kehilangan barang, tepatnya dia
selalu lupa menaruh barang-barangnya dan dia suka membuat puisi sepertiku. Kami
berempat selalu meluangkan waktu bersama, sesudah jam kuliah berakhir kami
duduk di student area. Student area adalah tempat para mahasiswa mengarjakan
tugasnya namun kami disini hanya sekedar duduk melihat lalu lalang mahasiswa
masuk-keluar kampus. Terdengar suara gaduh candaan yang mengalihkan pandangan
kami, ternyata suara itu dari grombolan roy dan kawan-kawannya, mereka adalah
anak-anak elit yang selalu memamerkan barang-barang mewah karna gengsi no1 bagi
mereka. Banyak mahasiswa yang tidak menyukai mereka, termasuk kami berempat.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, kami
berempat siap-siap untuk berangkat kuliah. Aku mengedor-gedor pintu kamar
nadin, manyuruhnya bangun selagi aku mengancingkan lengan kemeja. Terdengar
suara chika memanggil siska menyuruhnya cepat berdandan di depan cermin yang
besar yang dimilikinya. Sesudah nadin keluar dari kamarnya dan memastikan
penampilannya di depan cermin di kamar siska, akupun menyuruh mereka semua agar
cepat selagi aku masih menali tali sepatuku. Siska yang kulihat telah siap sambil
menyemprotkan parfum kesayangannya kepada kami satu persatu selagi kami sedang
sibuk berkemas-kemas, nadin sedang mengunci pintu kamarnya yang kulihat telah
siap. Namun chika tetap masih berada di dalam kamarnya, nampaknya dia sedang
mencari kunci motor yang dia lupa letakan. Aku pun langsung menarik tangannya
untuk bergegas berangkat kekampus, sesampainya di kampus kami berpapasan dengan
roy dan kawan-kawannya, kami pun acuh saat melewati mereka, namun tak sengaja
aku melihat tatapan chika yang memandang roy dengan senyuman manis yang dimilikinya,
akupun mengabaikannya karna pagi itu kami sedang terburu-buru masuk kelas. Saat
dikelas akupun tak sengaja memperhatikan chika, ternyata dia secara
sembunyi-sembunyi melihat ke arah roy dengan sesekali ia tersenyum kecil. Tak hanya itu ketika kami
berempat sedang bersenda gurau, aku melihat tatapan chika yang tak lepas dari
roy, dengan sepontan aku bertanya kepada chika. Sebenarnya chika sempat tak mau
mengakui atas pertanyaan yang aku tanyakan, namun akhirnya ia bercerita
sebenarnya ia menyukai roy semenjak SMA, dulu mereka sempat satu SMA dan chika
senggaja memilih mendaftar di universitas dan prodi yang sama dengan roy, karna
ia ingin selalu memandangi roy.
Dari situ kami tak berani
berkomentar satu pun, kami hanya mengangguk tanda mengerti, chika dengan
semangat memberitahu kepada kami bahwa besok adalah ulang tahun roy, chika
ingin sekali memberi kado kepada roy namun besok kakak chika menikah dan itu
berarti chika harus pulang ke bandung. Siang itu chika mengajak kami untuk
membeli kado untuk roy, chika terlihat sangat antusias saat ia sedang memilih
sepatu yang akan di berikan kepada roy, dan siang itu juga chika mengajak kami
untuk membeli tiket kereta dengan keberangkatan pagi.
Jam telah menunjukan pukul 00.00 WIB,
kami sengaja menunggu di depan kos roy untuk menemani chika. Saat roy keluar
bersama teman-temannya chika memanggil roy dengan semangat, dan ia mengucapkan
selama ulang tahun untuk roy dengan memberikan kado yang telah dia beli bersama
kami. Lalu roy hanya membalasnya dengan senyum, kemudian kado berbungkus kuning
itu di buka oleh roy dengan celotehan-celotehan teman-temannya. Namun tak di
sangka roy melempar kado yang diberi chika setelah roy membuka kado itu, dan ia
sempat melihat keteman-temannya lalu mereka tertawa bersama-sama. Senyum manis
chika sekitika hilang dari raut wajahnya, roy menghina habis-habisan kado yang
di berikan chika. Dan ketika itu chika hanya menangis dan menarik tangan kami
untuk langsung pergi dari depan kos roy.
Sesampainya di kos, chika hanya
termenung duduk di atas tempat tidurnya. Dan kami tidak dapat berkata apa-apa,
kami langsung memeluk erat chika. Kami dengan erat memeluk chika dan aku dapat
merasakan kesedihan yang teramat dalam yang dirasakan chika. Keesokan harinya,
chika berpamitan pergi dan menyempatkan memberikan sesuatu kepada kami. Satu
pac alat kecantikan ia keluarkan dan ia berikan kepada siska dan ia berkata
“tampil cantik setiap hari ya sis”, jam beker ia keluarkan dan ia berikan
kepada nadin ia berkata “harus bangun pagi ya mulai sekarang”, dan ia keluarkan
buku koleksi puisinya dan ia berikan kepadaku “aku titip ya, kasih masukan kalo
perlu”. Kami semua heran melihat tingkah laku chika, namun ia hanya berkata
“makasih kalian telah menjadi keluargaku disini” lalu chika hanya memeluk kami
berempat.
Siang kami bertiga merasa sepi di
tinggal chika di bandung, dan kami hanya menghabiskan waktu menonton tv sambil
menyantap makanan ringan yang telah kami beli sebelumnya. Tiba-tiba ada berita
kecelakaan kereta api, kami bertiga sepontan langsung mendengarkan berita itu
dan ternyata kereta tersebut yang di tumpangi chika dan chika menjadi korban
yang tewas dalam kecelakaan tersebut, kami bertiga sepontan langsung menangis
dan ternyata barang-barang yang ia berikan adalah barang terakhir yang ia
berikan kepada kami. Tiba-tiba terdengar suara roy yang memanggil kita bertiga
dari depan gerbang dan kami langsung keluar untuk mencaci makinya, seandainya
chika tidak meluangkan waktu untuk memberikan kado kepada roy pasti kejadian
ini tidak terjadi. Roy hanya diam terpaku dan dia mengatakan bahwa sebenarnya
dia menyukai chika, dia bersifat seperti itu karna dia gengsi didepan
teman-temannya. Sudah terlambat bagi roy, sangat terlambat untuk mengatakannya
kepada chika dan bahkan sekarang ia tidak bisa mengatakannya kepada chika
karena kehidupan chika telah berakhir diujung patah hatinya. Kami bertiga
sangat membenci roy saat itu, namun ketika kami bertiga melihat roy yang
menggunakan sepatu pemberian chika sehari-hari dan dia juga mulai berubah
sedikit demi sedikt, dan saat itu kami merasakan chika hadir untuk merubah roy
dan kami bertiga.
Saat aku menghampiri sosok pria yang
duduk termenung di bawah pohon, ternyata itu roy dan ternyata ia selalu memakai
sepatu pemberian chika kemanapun ia pergi. Tak heran sepatu itu sudah terlihan
kucel dan kusam, “roy” sapaku dan kemudian aku duduk di sebelahnya. “aku selalu
meridukannya kin” ia mengatakan dengan tatapan masih memandang sepatu kecel
itu. “Buku ini lebih pantas di jaga kamu, aku telah mendapatkan inspirasi
banyak dari buku ini” aku menepuk pundaknnya sambil mengatakan “bukan ini yang
chika mau” lalu aku memberikan senyum dan beranjak pergi.
No comments:
Post a Comment