“Meng-Gantung”
By Apriska Fitriani
13321105
Di depan pohon angsana ini ingatanku
kembali ke waktu tiga bulan lalu. Saat aku kehilangan keseimbangan untuk
menstabilkan laju sepedaku, dan akhirnya aku merangkul jalanan.
“Heh!” katanya memecah lamunanku.
“Apasih yang kamu liatin daritadi na?” tanyanya lagi.
“Oh, gak ada kok Div. Udah dapet
rujaknya?”. “Nih” jawabnya sambil mengangkat tangannya yang membawa rujak.
Div kembali mengayuh sepeda sedang aku
yang membawa rujaknya, sengaja kami memilih tempat lain untuk menikmati rujak
ini, bukan di pinggir jalan tempat jajaran penjual. Kami lebih membutuhkan
tempat yang teduh tenang dengan udara yang segar.
“Div, aku kehilangan sesuatu,” ucapku
lirih di dekat daun telinganya. Div menggentikan laju sepedanya. “Apa? Apa yang
hilang darimu?”
“Akupun tak tau, ingatkah kamu tadi
memergokiku melamun?” dengan penuh kepolosan memandangi Div. “Saat kamu melihat
di daerah pohon besar tadi tanpa berkedip sedikitpun?” tebaknya sambil
memiringkan kepala ke bagian kanan.
Aku hanya mengangguk. Aku bahkan tak
tahu apa yang hilang dari diriku, tapi apapun itu aku merasa bahwa itu adalah
hal yang sangat penting, sesuatu yang amat bermakna.
“Ahh sudahlah Div, aku bahkan lupa
apakah itu,” kalimat penutup topik yang tak jelas yang aku utaran pada Div.
Ia hanya tersenyum manis, kemudian
mengajakku duduk di ditepi danau dan menikmati rujak yang sedari tadi aku
pegang.
Angin semilir di tepi danau
benar-benar menyegarkan, ditambah rasa asam pedas manis dari campuran rujak mas
Din. Kembali lagi aku teringat, hal yang aku lupakan. Di depan pohon angsana,
ketika aku terjungkal.
Sore itu aku hendak menuju rumah Div,
setelah selesai membuat brownis kukus. Aku bungkus rapih brownis itu dalam mika
bening yang aku berikan pita warna merah menyala. Tidak mendung dan tidak
terlalu terik, namun ada genangan air di depan pohon itu. Aku yang melaju
dengan kecepatan sedang ingin menghindari genangan tersebut dan mengarahkan
sepeda warna tosca ini ke kiri, namun ada sesuatu yang tiba-tiba muncul dari
kiri, begitu cepat seperti kilat. Entahlah, tapi suatu itu yang membuatku
terjatuh. Setelah itu aku lupa, apa yang terjadi selanjutnya. Ketika aku
terbangun aku ada diatas ranjang kayu
warna putih berbentuk segi panjang. Apakah aku akhirnya sampai kerumah Div dan
memberikan hasil olahanku atau tidak aku tak ingat.
“Ana, aku mau ngomong sesuatu sama
kamu.” Kata Div memecahkan lamunanku. “Ngomong aja sih Div.” Jawabku sambil
mengayun-ayunkan kedua kakiku seraya memandang danau. “Iya, tapi bisa gak kamu
liat aku,” tanganya meraih kedua bahuku bermaksud membawaku menatapnya. Aku
hanya terdiam, dan menatapnya dalam-dalam.
“Ana, maukah kau menungguku untuk
waktu yang sedikit lama.” Matanya berbinar, hingga aku dapat melihat ketulusan
dalam permohonannya. Bibirku membeku, sepatah katapun tak dapat terucap darinya.
“Ana, apakah kamu keberatan,?”
tanyanya penasaran. “Seberapa lama aku harus menunggumu Div?” tanyaku kembali.
“Aku hanya tak ingin kau hidup
denganku tanpa kepastian, kelayakan dan kebahagiaan. Aku hanya ingin menggapai
semuanya hingga aku layak menjadi pendampingmu,” jelasnya. Aku tak mengerti apa
yang ia pikirkan, tapi aku paham maksudnya.
“Div, tak bisakah kau melihatku lebih
jauh. Aku bisa mejalani semua dari awal. Aku hanya tak ingin bersanding
denganmu ketika kau telah berhasil dan membiarkanmu berjuang sendirian.”
“Tapi An, aku setidaknya aku punya hal
paling pokok dulu. Aku tak ingin benar-benar mengajakmu memulai semua dari nol,
ya setidaknya dari angka 4”
Akhir pembicaraan yang masih
menggantung. Div membuat beban pikirku bertambah satu setelah sebelumnya
kegemasan akan ingatan yang pudar.
Kembali aku mencoba dengan keras untuk
mengingat apa yang aku lupakan dihari ketika aku terjungkal. Mungkinkah semua
itu hanya mimpi? Dan aku tak pernah membuat brownis atau bahkan memberikannya
pada Div. Haruskah aku bertanya? Tiba-tiba ponselku bergetar.
“Ana, apakah kamu masih belum
menemukan jawaban atas pembicaraan terakhir kita?”
Apa yang harus aku jawab? Ahhh, aku
akhiri saja rasa penasaranku. Akupun memberanikan diri untuk bertanya.
“Div, sebelum aku menjawab bolehkan
aku bertanya dulu,” balasku.
Waktu terus berjalan, selama satu jam
aku menanti balasan yang tak kunjung datang. Mungkin ia sedang sibuk. Dihari
Minggu yang sepi ini aku digantungkan oleh ketidakpastian lagi. Harusnya aku
pergi keluar menghirup udara segar.
“An, aku di depan pagar. Bukain dong”
tiba-tiba saja Div mengirim pesan saat aku sedang bersiap-siap untuk hengkang
dari kamar. Mengintip sebentar dari jendela kamar dan segera aku menuruni anak
tangga menuju pagar.
“Hmm, aku kira kamu sibuk
sampai-sampai gak balas pesanku,” kataku sambil membukakan pintu pagar.
Div yang sedari tadi berdiri di depan
pagar langsung meraih tanganku dan membawaku kedalam pelukannya.
“Kok kamu cantik banget, mau kemana
An?” tanyanya yang tak kunjung melepas pelukan.
“Mau pergi, bete kamunya ga
bales-bales,” jawabku sambil menampik dadanya, berusaha melepaskan diri dari
pelukan Div.
“Yaudah mumpung udah jam makan siang,
kamu mau gak perginya sama aku aja?” ajaknya merayuku.
“Aku ambil dompet dulu ya, bentar.”
Kamipun pergi ke salah satu tempat makan,
melupakan semua tentang rasa penasaranku dan rasa penasarannya. Tak perlu
dijelaskan, tak perlu ditanyakan biarkan saja waktu yang akan menjawab semua,
mengingatkan apa yang telah terlupakan dan menjadikan akhir kisah ini bahagia.