Nama :
Apriska Fitriani
NIM :
13321105
Judul Buku : Terorisme
dalam pemberitaan media: Analisis wacana terorisme Indonesia
Penulis : Dr. Indiwan Seto
Wahjuwibowo
Jumlah Halaman :
317 Halaman
Tahun Terbit :
2015
Penerbit : DEE PUBLISH
Ulasan:
Buku ini mengulas tentang bagaimana
terorisme di representasikan dalam pemberitaan di Koran Tempo. Sebelum jauh
menelaah perlu dipahami apa makna
terorisme itu terlebih dahulu. Terdapat berbagai interpretasi tentang
pengertian teror, teroris, dan terorisme.
Menurut Golose (2010:1-2) kata teror sendiri berasal dari bahasa latin
terrorem yang memiliki arti membuat takut atau menakut-nakuti. Jadi bisa
disimpulkan bahwa terorisme adalah sistem kepercayaan berdasarkan politik,
sosial, atau ekonomi dilakukan sewenang-wenang (kejam, bengis, dan sebagainya
sebagai usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman, oleh
seseorang atau golongan).
Isu terorisme ini menjadi menarik
karena kondisi pers saat ini yang berada dalam era kebebasan, media tidak lagi
diselimuti ketakutan akan pembredelan
dan pencabutan SIUPP. Salah satu iru terorisme yang diangkat media di
tanah air saaat reformasi adalah terorisme yang diduga ada keterkaitannya
dengan gerakan Islam garis keras dan gerakan fundamentalis Islam yang terkait
dengan jaringan global.
Kasus Bom Bali 1 dan Bom Bali II,
media menggambarkan kasus tersebut sangat variatif “Bali kembali diguncang
beberapa ledaan bom Sabtu (1/10/2005) malam. Hingga pukul 01.00 WITA. Dilaporkan
sedikitnya 23 korban tewas dan 99 lainnya luka-luka”. (Kompas, 8 Oktober 2005).
Berita tersebut menggambarkan secara dramatis peristiwa teror yang kembali
melanda pulau Dewata setelah pada tahun 2002 aksi serua juga menewaskan puluhan
wisatawan, mancanegara maupun domestik yang tengah berlibur di Bali. Isu yang
sengja diambil dalam buku ini adalah pemberitaan aksi terorisme di era 2010-an
ketika aksi terorisme di Indonesia diwarnai sejumlah aksi terorisme yang tidak
besar dan memiliki efek luar biasa.
Seteleh sejumlah gembong terorisme
ditangkap pasca 2008-2010 dan tewas atau dijatuhi hukuman mati, serta di
eksekusi di Nusakambangan peristiwa terorisme yang terjadi di tanah air tidak
begitu besar. Di Indonesia, kata Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan
Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Tito
Karnavian dari 689 pelaku terorisme yang tertangkap dan diajukan ke
pengadillan, tidak satupun yang dilepas karena adanya bukti. Namun, kata dia,
terjjadinya penurunan kualitas aksi terorisme, sementara kuantitasnya meningkat.
Hal ini dapat dilihat dari jumlah
pelaku terorisme yang tertangkap, yakni pada tahun 2003 sebanyyak 93 orang dan
bertambah menjadi 103 tersangka pada tahun 2010. Menurut Tito, polisi dan
pengamat awalnya mengira persoalan terorisme di Indonesia telah selesai pasca
penangkapan ratusan tersangka teroris pada tahun 2005, namun kenyataannya pada
tahun 2009 membuat penegak hukum dan warga Indonesia terkaget-kaget dengan
ledakan bom di Hotel Ritz Charlton,
kata Tito dalam Seminar Penanggulangan Terorisme Guna Persatuan Dan Kesatuan
Bangsa Dalam Rangka Ketahanan Nasional di gedung Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas)
Jakarta.
Bisa dikatakan, ditengah suasana
aksi terorisme sesungguhnya media berada ditengah realitas sosial yang sarat
dengan kepentingann, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. realitas
adalah hasil dari ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial
terhadap dunia sekelilingnya. Dunia sosial itu dimaksud sebagaimana yang
disebut George Simmel, bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendirri diluar
individu, yang menurut kesannya bahwa realitas itu “ada” dalam diri sendiri dan
hukum yang menguasainya (Bungin, 2008:12).
Dalam penyiapan materi konstruksi,
media massa kadang memposisikan diri pada tiga hal antara lain, keberpihakan
media massa kepada kapitalisme. Media massa digunakan oleh kekuatan-kekuatan
kapital untuk menjadikan media massa sebagai mesin uang dan pelipatgandaan
modal lewat penyajian-penyajian beritanya. Posisi kedua adalah adanya keberpihakan
semu kepada masyarakat. Media massa seolah berpihak kepada masyarakat dalam
bentuk simpati, empati dan berbagai pastisipasi pada msyarakat, tetapi
ujung-ujungnya “menjual berita” dan menaikkan rating demi kepentingan kapitalis
atau pihak pemilik modal. Keberpihakan pada kepentingan umum adalah posisi
media terakhir. Bentuk keberpihakan ini merupakan arti sesungguhnya yaitu visi
setiap media massa, meski akhir-akhir ini visi tersebut tidak pernah
menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar
(Bungin, 2008:196-197).
Media massa karena fungsi atau
memang bidang aktivitasnya, ada gilirannta tampil dan tururt berperan. Artinya
aktivitas terorisme bisa lebih dikenal, dipahammi dan disikapi karena sebaran
liputan media. Dengan kata lain, kecepatan, percepatan dan cakupan luas tebar
informasi tentang terorisme bergantung pada kerja institusi media.
Casinos of the Day 2021 - DRMCD
ReplyDeleteTop 5 Most Played Casinos · 김해 출장샵 #1: Royal Ace Casino · 안산 출장안마 #2: 여수 출장안마 Big 창원 출장마사지 Santa 세종특별자치 출장마사지 Casino · #3: Buffalo Creek Casino · #4: Bally's Casino · #5: Casino War