oleh: Vinny Fhiadina Nasution
Judul Orde Media : Kajian Televisi dan Media di
Indonesia Pasca-Orde Baru
Penulis Yocantra Arief/ Wisnu Prasetya Utomo
Penerbit :
Diandra Primamitra
Tanggal : Terbit September - 2015
Jumlah Halaman : 295
Kategori :
Sosial-Politik
Harga : Rp.65.000,00
Remotivi, merupakan sebuah pusat kajian media dan
komunikasi yang tak lain adalah lembaga studi dan pemantauan media khususnya
televisi di Indonesia. Terhitung satu tahunyang lalu remotivi menerbitkan
sebuah buku berjudul “Orde Media: Kajian Televisi dan Media di Indonesia
Pasca-Orde Baru”. Buku ini dibilang perdana yang diterbitkan oleh Remotivi yang
isinya berupa tulisan-tulisan yang pernah tayang di web www.remotivi.or.id
. Cakupan kerja remotivi meliputi penerbitan daring di remotivi.or.id,
penelitian, pengarsipan tayangan televisi, dan advokasi-kampanye. pada Agustus
2014, Remotivi menerima penghargaan Tasfrif Award 2014 dari Aliansi Jurnalis
Independen.
Terdapat 37 tulisan yang tersaji pada buku ini dengan tema
yang merentang dari analisis teks media, kritik terhadappraktik jurnalistik,
riset mengenai representasi tayangan televisi, sejarah ekonomi politik industri
media, sampai tema mengenai literasi media. Keseluruhan tema yang dijabarkan
pada buku ini memperlihatkan adanya bentuk respon terhadap industri media di
Indonesia pasca-Orde baru.
Buku ini menyadarkan kajian media yang kritis yang
membumi serta diperkaya oleh narasi-narasi yang bineka. Buku ini sangat
bermanfaat untuk memperkaya pemahaman kita tentang lenskap media Indonesia
pasca-Orde Baru, yang bukan saja mengalami proses demokratisasi, melainkan juga
liberalisasi korporatisasi sehingga mendorong terjadinya pemusatan kekuasaan
dan penyeragaman isi.
Buku ini menjadi catatan sejarah perkembangan media di
tanah air pasca orde baru. Tumbangnya rezim yangberkuasa lebih dari 30 tahun
itu membuat perusahaan media kian bertumbuh bak cendawan di musim penghujan.
Buku ini mengulas bagaimana media kita memperlakukan publik, kepada siapa
mereka tunduk dan bagaimana memposisikan dirinya di era digital dewasa ini,
Buku ini lebih menuju pada bagaimana hubungan televisi
dan masyarakat yang mana dampak televisi yang besar tengah menerpa masyarakat
awam khususnya. Mereka yang didalamnya mengupayakan perubahan dalam
pertelevisian di Indonesia, kendati mereka tahu bahwa pilihan itu sulit, tidak
populer, tidak membawa kesejahteraan, dan mungkin juga tidak membawa hasil yang diharapkan.
Membincangkan kajian media massa sama dengan
membincangkan hal-hal tabu. Terkesan tidak populer dan sangat sedikit orang
yang menyukai kajian ilmu yang satu ini. Di negeri ini, kajian politik dan
hukum tata negara lebih populer dibanding kajian media. Khususnya, kajian yang
membongkar kegenitan media massa tanah air akhir-akhir ini.
Karena
itulah, tidak heran, referensi media massa di tanah air terbilang langka.
Perguruan tinggi yang memiliki jurusan jurnalistik, ilmu komunikasi atau public
relations terbilang sulit menghasilkan buku tentang media massa. Mengapa?
Media
terkesan ekslusif, berlindung dibaling kata-profesional- sehingga terkesan
sulit dikritik. Alih-alih memperbaiki diri, media tanah air cenderung terseret
arus deras kepentingan pemilik modal. Dalam buku “Orde Media” ini, pembaca
disuguhkan bagaimana media massa tampil genit. Di satu sisi, larut dalam
kepentingan pemilik modal, di sisi lain, tampil bak seorang dewa
mengatasnamakan publik untuk membela kepentingan pemilik.
Azhar Irfansyah misalnya, dalam tulisan berjudul
Rutinitas Berita dan Sinisme Terhadap Buruh menunjukkan betapa diskriminatifnya
media ketika memberitakan tentang buruh, baik itu demonstrasi maupun tuntutan
para buruh. Padahal dalam kerangka industri media, wartawan juga merupakan
buruh. Azhar menulis bahwa pada satu titik sinisme wartawan terhadap buruh ini
merupakan tragedi karena bisa saja wartawan tersebut bekerja untuk majikan yang
sama dengan para buruh yang demo. Konglomerasi yang menyebabkan hal tersebut
terjadi.
Roy
Thaniago, dalam Menguji Logika Pandji, mencoba membongkar pandangan-pandangan yang
bias kelas dalam merespon tayangan-tayangan televisi yang nirkualitas. Roy
mula-mula mengkritik pernyataan Pandji, seorang selebritas, yang kurang lebih
menjelaskan bahwa selera masyarakat kelas bawah yang menyebabkan tayangan
televisi buruk dan masyarakat dalam industri televisi hanyalah seorang
konsumen, bukan warga negara. Roy menyebut bahwa asumsi-asumsi semacam itu
banyak diyakini para pekerja televisi sehingga mereka terus memproduksi
tayangan yang memenuhi “selera masyarakat”.
Dalam
tulisan Panggil Aku Wartawan, Indah Wulandari menyebut bahwa makna
profesionalisme wartawan televisi mengalami pergeseran. Pernah ada masa di mana
jurnalis memaknai profesionalisme sebagai bekerja dengan skill dan idealisme
jurnalistik yang jelas. Sementara sekarang, berdasarkan laporan Indah, sebagian
besar wartawan televisi memaknai profesionalisme sebagai “menurut perintah
atasan atau perusahaan”.
Ariel
Heryanto yang memberikan endorsement menyebut bahwa buku ini merupakan “jawaban
kolektif terhadap sejumlah kebutuhan informasi, wawasan, dan perdebatan kritis
dalam menghadapi ledakan industri media massa di negeri ini.”
Tinjauan
bahasa yang digunakan oleh penulis tidak mempersulit pembaca dalammencerna
sehingga buku ini dari sudut pandang saya sangat mudah untuk digunakan sebagai
referensi mengenai media. Membaca pikiran dari penulis mampu dirasakan
berdasarkan kalimat kegelisannya terkait media yang saat ini berada pada fase “Kala
Televisi Dikuasai Rating dan Penguasa”.
Politik
budaya di televisi kini telah mendarah daging pada pertelevisian di Indonesia.
rentang bukanlah satu-satunya kelebihan buku ini. Hal lain adalah sudut
pandangnya yang menarik dalam melihat televisi. Kitley pertama-tama mendudukan
televisi sebagai produk pascakolonial. Ia melihat kemiripan praktik pemerintah
Indonesia dalam memperlakukan televisi dengan bagaimana pemerintah pendudukan
Jepang memperlakukan radio.
Kelebihan
pada buku ini terdapat pada cara penulis dalam mengupas tahapan media secara
realita. Contoh kasus yang tertera juga dapat mudah difahami oleh karena
diambil dari aktivitas sehari-hari masyarakat. Lalu buku ini bersifat “demokasi”
yang hakekatnya sebagai jalan hidupberbangsa dan bernegara yang mengaharuskan
independensi media untuk dijadikan sebuah kewajiban. Keberpihakan satu-satunya
jurnalisme danmedia adalah pada kepentingan publik. Remotivi menyatukan dan
membahahas tema besar yang berkenaan dengan persoalan media saat ini dengan
lengkap.
Ulasan-ulasan
diatas memiliki benang merah yang menurut perspektif saya adalah penulis ingin
menyampaikan Televisi melakukan persiaran menggunakan frekuensi milik publik. Maka
seharusnya penonton harus menjadi prioritas (warga negara) bukan konsumen yang
saat ini diimplementasikan oleh pihak televisi. Karena pada hakekatnya warga
negara sepenuhnya memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang sehat dan
benar.
Isi buku dari “Orde
Media” ditujukan kepada lapisan masyarakat khususnya yang berkecimpung pada
dunia media. Kenapa? Karena nantinya pekerja pada bidang medi ammapu membentuk
kualitas informasi hingga selera masayarakat ada hiburan maupun pengetahuan
dapat ditingkatkan ke arah yang lebih baik lagi.dan nantinya akan menjadi
sebuah prestasi bila publik tidak mengalami monopoli informasi yang dilakukan
pemerintah.
Buku ini sejatinya dimaknai sebagai koreksi untuk media
massa. Bahwa, bangsa ini ingin memiliki media yang cerdas mengabarkan,
mengungkap fakta-fakta kebohongan negara di depan sidang pembaca. Semua pemikir
jurnalisme sepakat bahwa netralitas dalam media massa adalah hal absur. Namun,
kode etik jurnalistik sejatinya menjadi acuan utama di industri media. Jika
usur ini dipenuhi, maka Indonesia akan memiliki media yang cerdas, melaksanakan
fungsinya sebagai “anjing penjaga” dan mendorong kemajuan bangsa ini dari waktu
ke waktu. Bukan sebaliknya, menjadi media yang “bertuhan” pada pengiklan dan
pemilik.
Terimakasih telah mereview buku INSISTPress. Rehal buku ikut dilansirkan di link: http://blog.insist.or.id/insistpress/arsip/13332
ReplyDeleteRehal buku ikut dilansirkan di link: http://insistpress.com/katalog/orde-media-kajian-televisi-dan-media-di-indonesia-pasca-orde-baru/
ReplyDelete