Resensi Buku
Oleh Kumala Sakti Wibowo
Judul : Televisi Jakarta Di Atas
Indonesia
(Kisah Kegagalan Sistem Televisi Berjaringan Di
Indonesia)
Tahun Terbit : 2011
Jumlah Halaman : 298 halaman
Penulis :
Ade Armando
Penerbit :
Bentang Pustaka, Mizan Group
Bahasa :
Indonesia
Harga :
± Rp. 49.000,-
Buku
yang merupakan karya dari Ade Armando ini membahas tentang persoalan yang
terkait dengan media massa seperti televisi sendiri. Berbagai pesoalan seperti
mengatur frekuensi siaran sebagai milik publik sampai membahas tentang salah
satu keluhan yang sering terdengar mengenai pertelevisian Indonesia yaitu
penyajian gambaran tentang daerah di luar jakarta yang terkesan melulu dan
negatif. Informasi tentang luar jakarta lazimnya hanya tersaji secara singkat,
secara parsial, sebagai rangkaian berita
di program berita. Itu pun umumnya hanya menyangkut hal-hal negatif dan
sensasional seperti pembunuhan, tawuran, skandal kekerasan, demostrasi, darah,
bencana alam, dan semacamnya. Di dalam pandangan penulis sendiri, kasus
tersebut ada kaitannya dengan sistem pertelevisian komersial yang sentralis.
Mungkin tanpa disadari banyak penduduk negeri ini, sistem pertelevisian komersial
di Indonesia ini hanya menguntungkan Jakarta. Daerah di luar Jakarta hanya dieksploitasi
dan tidak pernah dibiarkan bisa berkembang. Televisi adalah media massa yang
memiliki posisi sentral dalam kehidupan masyarakat, sistem yang ada ini juga
eksploitasi di wilayah politik, sosial, dan budaya.
Dalam
buku ini sendiri, Ade Armando sebagai penulis menjelaskan tentang sistem
sentralisasi siaran yang berkaitan dengan rezim Soeharto. Tayangan sepuluh
stasiun televisi komersial raksasa di Jakarta akan terus mengudara ke seluruh
Nusantara, tetapi masyarakat di seluruh daerah di Indonesia nantinya tidak
hanya akan menjadi penonton, mereka juga menikmati aliran uang iklan, peluang
kesempatan kerja, sarana promosi, ruang diskusi politik, ruang ekspresi seni
dan kebudayaan, atau juga ruang perekat sosial. Buku ini menggambarkan
bagaimana amanat “perubahan ke arah keadilan” itu dikhianati. Sistem
pertelevisian swasta Indonesia justru sejak awal adalah tidak tersentralisasi.
Ketika RCTI lahir, ia adalah sebuah stasiun televisi di Jakarta yang untuk
bersiaran di kota lain harus menggunakan sistem jaringan. Pola itu berubah
karena pemerintah kemudian di paksa oleh pemilik stasiun televisi untuk
mengubahnya. Penulis buku ini menjelaskan bahwa buku ini mungkin tidak akan
terlalu nyaman bagi mereka yang bergerak di dunia pertelevisian swasta, terutama
mereka stasiun raksasa di Jakarta. Buku ini memang ditulis untuk mengingatkan
bahwa sistem yang berlaku ini salah dan kita harus sama-sama mengubahnya,
mengembalikan ke tempat semula. Informasi yang sampaikan penulis melalui buku
ini di dasarkan dan merujuk pada pengetahuan tentang dunia penyiaran yang
dikembangkan banyak ilmuan dalam dan luar negeri, tentu juga menjadi subjektif
terkait dengan kerangka pengetahuan dan keberpihakan penulis.
Cara termudah untuk membayangkan sistem
pertelevisian berjaringan juga dijelaskan dalam buku ini yaitu dengan
menggunakan contoh TVRI yang telah berpuluh-puluh tahun mengembangkan sistem
jaringan. Stasiun TVRI regional memang menyajikan siaran dari TVRI pusat selama
beberapa jam, tetapi juga menyajikan beberapa jam siaran dari daerah. Dalam
beberapa kasus, sejumlah program sukses justru pada awalnya dikembangkan oleh
stasiun-stasiun televisi lokal. Misalnya program realiti show yang hal tersebut
di jelaskan dalam buku ini. Ketika program reality show itu terbukti sukses,
program itu kemudian dibeli oleh induk jaringan dan menjadikannya sebagai
bagian dari program jaringan yang disiarkan secara nasional. Di Indonesia
sistem siaran berjaringan semacam itu justru yang tidak di kunjung bisa di
terapkan.
Dalam
bab “semua mengalir ke jakarta” yang pada buku tersebut dijelaskan yaitu salah
satu keluhan yang sering terdengar mengenai pertelevisian Indonesia adalah
penyajian gambaran tentang daerah di luar Jakarta yang terkesan melulu negatif.
Dalam pandangan penulis ini ada kaitannya dengan sistem pertelevisian komersial
yang sentralis. Televisi besar di Jakarta pada dasarnya tak terlalu peduli
dengan perkembangan di luar daerahnya. Dalam beberapa tahun terakhir, memang
ada sedikit perubahan. Sejumlah stasiun, di beberapa daerah mulai
memperkenalkan siaran lokal. Menurut penulis buku tersebut, mereka yang berada
di pusat kekuasaan terlalu terbiasa memandang indonesia sebagai jakarta, pun
dalam hal pertelevisian. Pemerintah dengan mudah bersimpati dengan kesulitan
yang dirasakan oleh stasiun-stasiun televisi besar di Jakarta yang sebenarnya
secara konsisten dan berkelanjutan memang berusaha menanggalkan demokratisasi
penyiaran seraya mengabaikan sama sekali persoalan besar yang di hadapi
lembaga-lembaga penyiaran swasta dan komunitas yang dikembangkan di luar
Jakarta.
Buku ini dapat digunakan untuk bahan
sebuah penelitian bagi mahasiswa yang sedang meneliti terkait dengan
pertelevisian. Karena buku ini banyak akan data yang dapat digunakan dan
menggunakan bahasa yang dapat dimengerti dan cepat dipahami. Walaupun secara
fisiknya buku ini tergolong buku yang tebal namun tidak berat apabila di pegang
pada saat membaca. Dalam pengolahannya sendiri, buku ini di olah kembali
sehingga dapat mudah dipahami dan walaupun data-data yang banyak digunakan
untuk pengolahannya. Namun, tidak secara kasar data tersebut di gunakan, tapi
di olah lagi sehingga enak dalam membacanya. Namun ketika berbicara kekurangan
buku ini sendiri, mungkin terletak pada bagian depan yaitu covernya sendiri
terlihat terlalu simple sehingga memiliki kesan sederhana dan kurang menarik.
Dan yang ditakutkan adalah hanya orang yang berkesinambungan dalam hal ini saja
yang tertarik membacanya.
No comments:
Post a Comment