Friday, April 1, 2016

cerpen

Allahumma salli’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad”, langkah kakiku semakin cepat mengikuti pria yang sedang berjalan didepanku.Allahumma salli’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad”. “Allahumma salli’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad”, aku terus berjalan dengan sholawat yang tak kunjung putus terucap dari bibirku. Aku tekankan. Dari hati.
“Aaiih! berat banget”. Aku mulai menggerutu dengan ransel besar yang aku bawa di punggung.
“Alamat sampe kosan langsung cuci muka, cuci tangan ama kaki terus tidur. Tinggal bangun besok jam 12.”
Aku baru pulang dari acara camping panjang selama tiga hari dua malam. Entahlah apa yang membuatku sampai hati memutuskan untuk turut serta dalam acara itu. Setelah dipikir-pikir tidak ada manfaat yang aku dapatkan. Tidak ada sesuatu yang “Wah!”. Iya itu maksudku. Tidak ada yang dapat digandeng setelah camping itu selsai. Tidak ada pria-pria idaman bahkan tidak ada mas-mas jodoh idaman.
Aku menghentikan langkah. Menyipitkan mata dan memperhatikan dengan seksama sosok yang sedang berdiri di bawah pohon itu. Dia tidak sendiri. Bersama dua orang pria yang duduk diatas motor. Ada banyak orang ditempat itu tetapi fokusku hanya pada tiga pria. Satu pria. Iya dia yang sedang berdiri. Semua pikiran tentang kosan dan kasur hilang sudah. Buyar entah kemana. Rasa lelah hilang.
Sosok pria berkulit putih, dengan kaos lengan pendek hitam dan celana jeans hitam. Kemeja kotak-kotak merah terikat dipinggangnya. Tas ransel biru tua dipunggungnya. Penampilannya disempurnakan dengan sepatu lari. Entah itu tren fashion apa namanya. Yang jelas, dia terlihat tampan. Sangat tampan. Dia terus berbicara dengan dua pria di atas motor. Seolah sedang menjelaskan sesuatu hal yang sangat penting. Dia terus berbicara sesekali mengangkat kedua tangannya.
Aku melanjutkkan berjalan. Bahkan melewati tiga sosok pria yang sedang melakukan diskusi penting tersebut. Aku menunduk. Terus berjalan. Mempercepat langkah kaki seolah sama dengan kecepatan detak jantungku saat itu.
Setelah terasa cukup jauh dari mereka, aku mulai melambatkan langkahku. Aku menghela nafas panjang. Setelah selama berjalan didepan sosok pria itu aku lupa bernafas.
“fyuuh! Baru segitu doing, Rasanya kayak mau mati. Gimana kalo dia ngajak ngobrol?!”
“Aaak! Nggak sanggup.”
Aku berbicara sendiri sambil menenangkan jantungku yang sedari tadi berdetak sangat cepat. Kalo diibaratkan jantungku mesin pompa air, mungkin udah dapet air sesumur.
Sebelum jantungku berdetak normal kembali, sosok pria berjalan mendahuluiku. Sosok pria yang berdiri diantara dua pria duduk diatas motor tadi. Iya pria itu. Sekarang dia berjalan persis didepanku.
Sontak aku berjalan mengikuti gerak langkah kakinya. Entahlah dia menyadari atau tidak bahwa aku mengikutinya. Jalannya diikuti sosok perempuan lusuh, kusam dengan ransel besar di punggung.
Selama berjalan dibelakangnya, aku terus mengucapkan “Allahumma salli’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad”.
Pria ini, sosok pria yang selama ini hadir di setiap doa-doaku. Sosok pria yang takut aku temui namun selalu aku minta pada Tuhan. Kalo kata puisi Kharisma Pangeran Lanang,
Didepanmu, aku malu-malu memandangmu,
Didepan Tuhanku, terang-terangan aku memintamu. (K.)
Aku terus mengikutinya sampai persimpangan jalan. Kita harus berpisah. Aku harus berbelok kekanan dan dia berhenti untuk membeli bakso dikiri jalan.  Sedih rasanya. Tetapi aku menguatkan diri bahwa suatu hari nanti akan ada masa dimana dia berjalan didepankku, aku berjalan disampingnnya dan dia mengikutiku berjalan untuk menunjukkan dimana letak dasinya.
Oh iya, untuk sholawat. Berdasarkan cerita salah seorang teman, anak dari Uztad yusuf Mansyur ketika dia menginginkan sesuatu maka dia akan membacakan sholawat terhadap apa yang dia inginkan tersebut. Contohnya ketika dia menginginkan HP, dia akan membacakan sholawat gambar HP tersebut. Selang beberapa waktu, dia benar-benar bisa memiliki HP yang dia inginkan.
Sosok pria itu adalah apa yang aku inginkan di masa depan. “Iyaa, namanya juga usaha.”
 
 
 

            Sore yang lembab ketika musim hujan tahun lalu. Aku mendengus menghirup aroma udara sore itu. Memejamkan mata. Sepertinya hujan sedari pagi mengguyur jalan yang aku lewati. Aku terus berjalan, sesekali menendang potongan kayu yang patah dari pohonnya. Atau menendang apapun itu yang ada dihadapanku yang sekiranya dapat mengganggu jalanku. Sesekali memperhatikan beberapa jamur yang mulai tumbuh di batang pohon.


Mas Jodoh by: Praptika Handiyani

No comments:

Post a Comment