Monday, April 11, 2016

Cerpen

“Meng-Gantung”
By Apriska Fitriani
13321105

Di depan pohon angsana ini ingatanku kembali ke waktu tiga bulan lalu. Saat aku kehilangan keseimbangan untuk menstabilkan laju sepedaku, dan akhirnya aku merangkul jalanan.
“Heh!” katanya memecah lamunanku. “Apasih yang kamu liatin daritadi na?” tanyanya lagi.
“Oh, gak ada kok Div. Udah dapet rujaknya?”. “Nih” jawabnya sambil mengangkat tangannya yang membawa rujak.
Div kembali mengayuh sepeda sedang aku yang membawa rujaknya, sengaja kami memilih tempat lain untuk menikmati rujak ini, bukan di pinggir jalan tempat jajaran penjual. Kami lebih membutuhkan tempat yang teduh tenang dengan udara yang segar.
“Div, aku kehilangan sesuatu,” ucapku lirih di dekat daun telinganya. Div menggentikan laju sepedanya. “Apa? Apa yang hilang darimu?”
“Akupun tak tau, ingatkah kamu tadi memergokiku melamun?” dengan penuh kepolosan memandangi Div. “Saat kamu melihat di daerah pohon besar tadi tanpa berkedip sedikitpun?” tebaknya sambil memiringkan kepala ke bagian kanan.
Aku hanya mengangguk. Aku bahkan tak tahu apa yang hilang dari diriku, tapi apapun itu aku merasa bahwa itu adalah hal yang sangat penting, sesuatu yang amat bermakna.
“Ahh sudahlah Div, aku bahkan lupa apakah itu,” kalimat penutup topik yang tak jelas yang aku utaran pada Div.
Ia hanya tersenyum manis, kemudian mengajakku duduk di ditepi danau dan menikmati rujak yang sedari tadi aku pegang.
Angin semilir di tepi danau benar-benar menyegarkan, ditambah rasa asam pedas manis dari campuran rujak mas Din. Kembali lagi aku teringat, hal yang aku lupakan. Di depan pohon angsana, ketika aku terjungkal.
Sore itu aku hendak menuju rumah Div, setelah selesai membuat brownis kukus. Aku bungkus rapih brownis itu dalam mika bening yang aku berikan pita warna merah menyala. Tidak mendung dan tidak terlalu terik, namun ada genangan air di depan pohon itu. Aku yang melaju dengan kecepatan sedang ingin menghindari genangan tersebut dan mengarahkan sepeda warna tosca ini ke kiri, namun ada sesuatu yang tiba-tiba muncul dari kiri, begitu cepat seperti kilat. Entahlah, tapi suatu itu yang membuatku terjatuh. Setelah itu aku lupa, apa yang terjadi selanjutnya. Ketika aku terbangun aku ada diatas ranjang  kayu warna putih berbentuk segi panjang. Apakah aku akhirnya sampai kerumah Div dan memberikan hasil olahanku atau tidak aku tak ingat.
“Ana, aku mau ngomong sesuatu sama kamu.” Kata Div memecahkan lamunanku. “Ngomong aja sih Div.” Jawabku sambil mengayun-ayunkan kedua kakiku seraya memandang danau. “Iya, tapi bisa gak kamu liat aku,” tanganya meraih kedua bahuku bermaksud membawaku menatapnya. Aku hanya terdiam, dan menatapnya dalam-dalam.
“Ana, maukah kau menungguku untuk waktu yang sedikit lama.” Matanya berbinar, hingga aku dapat melihat ketulusan dalam permohonannya. Bibirku membeku, sepatah katapun tak dapat terucap darinya.
“Ana, apakah kamu keberatan,?” tanyanya penasaran. “Seberapa lama aku harus menunggumu Div?” tanyaku kembali.
“Aku hanya tak ingin kau hidup denganku tanpa kepastian, kelayakan dan kebahagiaan. Aku hanya ingin menggapai semuanya hingga aku layak menjadi pendampingmu,” jelasnya. Aku tak mengerti apa yang ia pikirkan, tapi aku paham maksudnya.
“Div, tak bisakah kau melihatku lebih jauh. Aku bisa mejalani semua dari awal. Aku hanya tak ingin bersanding denganmu ketika kau telah berhasil dan membiarkanmu berjuang sendirian.”
“Tapi An, aku setidaknya aku punya hal paling pokok dulu. Aku tak ingin benar-benar mengajakmu memulai semua dari nol, ya setidaknya dari angka 4”
Akhir pembicaraan yang masih menggantung. Div membuat beban pikirku bertambah satu setelah sebelumnya kegemasan akan ingatan yang pudar.
Kembali aku mencoba dengan keras untuk mengingat apa yang aku lupakan dihari ketika aku terjungkal. Mungkinkah semua itu hanya mimpi? Dan aku tak pernah membuat brownis atau bahkan memberikannya pada Div. Haruskah aku bertanya? Tiba-tiba ponselku bergetar.
“Ana, apakah kamu masih belum menemukan jawaban atas pembicaraan terakhir kita?”
Apa yang harus aku jawab? Ahhh, aku akhiri saja rasa penasaranku. Akupun memberanikan diri untuk bertanya.
“Div, sebelum aku menjawab bolehkan aku bertanya dulu,” balasku.
Waktu terus berjalan, selama satu jam aku menanti balasan yang tak kunjung datang. Mungkin ia sedang sibuk. Dihari Minggu yang sepi ini aku digantungkan oleh ketidakpastian lagi. Harusnya aku pergi keluar menghirup udara segar.
“An, aku di depan pagar. Bukain dong” tiba-tiba saja Div mengirim pesan saat aku sedang bersiap-siap untuk hengkang dari kamar. Mengintip sebentar dari jendela kamar dan segera aku menuruni anak tangga menuju pagar.
“Hmm, aku kira kamu sibuk sampai-sampai gak balas pesanku,” kataku sambil membukakan pintu pagar.
Div yang sedari tadi berdiri di depan pagar langsung meraih tanganku dan membawaku kedalam pelukannya.
“Kok kamu cantik banget, mau kemana An?” tanyanya yang tak kunjung melepas pelukan.
“Mau pergi, bete kamunya ga bales-bales,” jawabku sambil menampik dadanya, berusaha melepaskan diri dari pelukan Div.
“Yaudah mumpung udah jam makan siang, kamu mau gak perginya sama aku aja?” ajaknya merayuku.
“Aku ambil dompet dulu ya, bentar.”
Kamipun pergi ke salah satu tempat makan, melupakan semua tentang rasa penasaranku dan rasa penasarannya. Tak perlu dijelaskan, tak perlu ditanyakan biarkan saja waktu yang akan menjawab semua, mengingatkan apa yang telah terlupakan dan menjadikan akhir kisah ini bahagia.

No comments:

Post a Comment