Friday, April 1, 2016

Resensi Buku






Nama   : Apriska Fitriani
NIM    : 13321105



Judul Buku                  : Terorisme dalam pemberitaan media: Analisis wacana terorisme Indonesia
Penulis                         : Dr. Indiwan Seto Wahjuwibowo
Jumlah Halaman          : 317 Halaman
Tahun Terbit                : 2015
Penerbit                       : DEE PUBLISH

Ulasan:
Buku ini mengulas tentang bagaimana terorisme di representasikan dalam pemberitaan di Koran Tempo. Sebelum jauh menelaah perlu dipahami apa  makna terorisme itu terlebih dahulu. Terdapat berbagai interpretasi tentang pengertian teror, teroris, dan terorisme.  Menurut Golose (2010:1-2) kata teror sendiri berasal dari bahasa latin terrorem yang memiliki arti membuat takut atau menakut-nakuti. Jadi bisa disimpulkan bahwa terorisme adalah sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi dilakukan sewenang-wenang (kejam, bengis, dan sebagainya sebagai usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman, oleh seseorang atau golongan).
Isu terorisme ini menjadi menarik karena kondisi pers saat ini yang berada dalam era kebebasan, media tidak lagi diselimuti ketakutan akan pembredelan  dan pencabutan SIUPP. Salah satu iru terorisme yang diangkat media di tanah air saaat reformasi adalah terorisme yang diduga ada keterkaitannya dengan gerakan Islam garis keras dan gerakan fundamentalis Islam yang terkait dengan jaringan global.
Kasus Bom Bali 1 dan Bom Bali II, media menggambarkan kasus tersebut sangat variatif “Bali kembali diguncang beberapa ledaan bom Sabtu (1/10/2005) malam. Hingga pukul 01.00 WITA. Dilaporkan sedikitnya 23 korban tewas dan 99 lainnya luka-luka”. (Kompas, 8 Oktober 2005). Berita tersebut menggambarkan secara dramatis peristiwa teror yang kembali melanda pulau Dewata setelah pada tahun 2002 aksi serua juga menewaskan puluhan wisatawan, mancanegara maupun domestik yang tengah berlibur di Bali. Isu yang sengja diambil dalam buku ini adalah pemberitaan aksi terorisme di era 2010-an ketika aksi terorisme di Indonesia diwarnai sejumlah aksi terorisme yang tidak besar dan memiliki efek luar biasa.
Seteleh sejumlah gembong terorisme ditangkap pasca 2008-2010 dan tewas atau dijatuhi hukuman mati, serta di eksekusi di Nusakambangan peristiwa terorisme yang terjadi di tanah air tidak begitu besar. Di Indonesia, kata Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Tito Karnavian dari 689 pelaku terorisme yang tertangkap dan diajukan ke pengadillan, tidak satupun yang dilepas karena adanya bukti. Namun, kata dia, terjjadinya penurunan kualitas aksi terorisme, sementara kuantitasnya meningkat.
Hal ini dapat dilihat dari jumlah pelaku terorisme yang tertangkap, yakni pada tahun 2003 sebanyyak 93 orang dan bertambah menjadi 103 tersangka pada tahun 2010. Menurut Tito, polisi dan pengamat awalnya mengira persoalan terorisme di Indonesia telah selesai pasca penangkapan ratusan tersangka teroris pada tahun 2005, namun kenyataannya pada tahun 2009 membuat penegak hukum dan warga Indonesia terkaget-kaget dengan ledakan bom di Hotel Ritz Charlton, kata Tito dalam Seminar Penanggulangan Terorisme Guna Persatuan Dan Kesatuan Bangsa Dalam Rangka Ketahanan Nasional di gedung Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Jakarta.
Bisa dikatakan, ditengah suasana aksi terorisme sesungguhnya media berada ditengah realitas sosial yang sarat dengan kepentingann, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. realitas adalah hasil dari ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sekelilingnya. Dunia sosial itu dimaksud sebagaimana yang disebut George Simmel, bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendirri diluar individu, yang menurut kesannya bahwa realitas itu “ada” dalam diri sendiri dan hukum yang menguasainya (Bungin, 2008:12).
Dalam penyiapan materi konstruksi, media massa kadang memposisikan diri pada tiga hal antara lain, keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Media massa digunakan oleh kekuatan-kekuatan kapital untuk menjadikan media massa sebagai mesin uang dan pelipatgandaan modal lewat penyajian-penyajian beritanya. Posisi kedua adalah adanya keberpihakan semu kepada masyarakat. Media massa seolah berpihak kepada masyarakat dalam bentuk simpati, empati dan berbagai pastisipasi pada msyarakat, tetapi ujung-ujungnya “menjual berita” dan menaikkan rating demi kepentingan kapitalis atau pihak pemilik modal. Keberpihakan pada kepentingan umum adalah posisi media terakhir. Bentuk keberpihakan ini merupakan arti sesungguhnya yaitu visi setiap media massa, meski akhir-akhir ini visi tersebut tidak pernah menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar (Bungin, 2008:196-197).
Media massa karena fungsi atau memang bidang aktivitasnya, ada gilirannta tampil dan tururt berperan. Artinya aktivitas terorisme bisa lebih dikenal, dipahammi dan disikapi karena sebaran liputan media. Dengan kata lain, kecepatan, percepatan dan cakupan luas tebar informasi tentang terorisme bergantung pada kerja institusi media.

1 comment:

  1. Casinos of the Day 2021 - DRMCD
    Top 5 Most Played Casinos · 김해 출장샵 #1: Royal Ace Casino · 안산 출장안마 #2: 여수 출장안마 Big 창원 출장마사지 Santa 세종특별자치 출장마사지 Casino · #3: Buffalo Creek Casino · #4: Bally's Casino · #5: Casino War

    ReplyDelete